Sekali lagi kita dikejutkan oleh
berita perkosaan. Kali ini menimpa seorang anak berusia 5 tahun di sekolahnya.
Sungguh keji. Siapa saja yang berotak dan berhati pasti sangat marah mendengar
kejadian ini. Tak terbayang bagaimana keluarga korban harus menghadapi
peristiwa tersebut. Kasus ini harus segera ditangani oleh semua pihak yang
terkait: polisi, kementerian pendidikan, kementerian perlindungan anak,
sekolah, dan lain-lain.
Kasus perkosaan terhadap siapapun
adalah kejahatan berat. Namun perkosaan terhadap anak-anak menjadi lebih
kompleks karena dampak yang diakibatkan. Kasus perkosaan pada anak membutuhkan
sensitivitas yang lebih tinggi dari semua pihak yang terlibat dalam
penangannya. Mulai dari pencarian bukti, pendekatan terhadap anak untuk mendapatkan
informasi hingga proses pengadilan nantinya. Penanganan psikologisnya juga
membutuhkan pendekatan yang sangat khusus untuk menangani trauma. Karena bila
tidak tertangani dengan benar, korban akan sangat rentan terhadap dampak trauma
hingga ia dewasa. Kami sangat berharap media berhati-hati dalam memberitakan
kasus perkosaan terhadap anak. Lupakanlah sensasi demi dongkrak penjualan.
Media harus berpihak kepada korban dan keluarganya. Salah satunya, jangan sebut
nama korban maupun karakter-karakter yang bisa mengarah ke identitas korban.
Hal lain yang sangat disesalkan
dari kasus ini adalah pernyataan Rikwanto selaku Kepala Bidang Humas Polda
Metro Jaya, bahwa pelaku mengidap penyakit homoseksual.
Ada dua kesalahan besar dalam
pernyataan Rikwanto. Pertama, secara gegabah menyebut pelaku sebagai
homoseksual. Kemungkinan besar pelaku adalah seorang pedofil namun belum tentu
ia seorang homoseksual meskipun pelaku dan korban adalah laki-laki. Pedofilia
merupakan kelainan kejiwaan di mana seseorang tertarik secara seksual terhadap
anak-anak, biasanya di bawah usia 13 tahun—secara fantasi atau tindakan.
Pedofilia termasuk dalam kategori kelainan kejiwaan (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders) sejak tahun 1968.
Tidak ada bukti bahwa pedofil
pastilah homoseksual karena banyak pedofil yang melakukan perkosaan terhadap
anak laki-laki maupun perempuan. Peneliti Margaret Smith mengatakan, “We do
not find a connection between homosexual identity and the increased likelihood
of subsequent abuse. It’s important to separate the sexual identity and the
behavior. Someone can commit sexual acts that might be of a homosexual nature
but not have a homosexual identity.” Identitas (orientasi) seksual dan
perilaku seksual adalah dua hal berbeda. Pedofilia adalah perilaku seksual yang
berorientasi pada usia korban (anak-anak) namun belum tentu berorientasi
homoseksual.
Pernyataan menyesatkan Rikwanto
yang kedua adalah bahwa homoseksualitas adalah penyakit psikis. Pak Rikwanto
yang terhormat, sejak tahun 1973, American Psychiatric Association telah
mengeluarkan homoseksualitas dari klasifikasi penyakit kejiwaan. Di tahun 1975,
The Psychological Association Council or Representatives melakukan hal yang
sama. WHO (World Health Organization) menyusul mengeluarkan homoseksualitas
dari klasifikasi penyakit kejiwaan pada tahun 1990. Indonesiapun melakukan hal
yang sama, melalui Kementerian Kesehatan, pada 1993. Jadi, Pak Rikwanto yang
terhormat, kami sarankan untuk membaca Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan
Jiwa (PPDGJ) III yang sudah tidak memuat homoseksualitas sebagai penyakit
kejiwaan. Pernyataan sembrono Anda hanya akan memperpanjang dan memperburuk
stigma, diskriminasi dan kekerasaan terhadap kelompok homoseksual.
Kasus perkosaan terhadap M ini juga
memperkuat bukti bahwa pakaian seksi bukanlah pemicu perkosaan. Pakaian seksi
macam apa yang dikenakan oleh korban? Lihat, anak laki-laki berusia 5 tahun
memakai seragam sekolah pun mengalami perkosaan. Masih mau menyalahkan pakaian
korban? Di samping itu, kasus ini juga memperkuat data bahwa perkosaan
kebanyakan dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban dan di tempat yang
selalu dianggap aman.
Ini hal besar. Sudah semestinya
menjadi tugas kita semua untuk menyadari penyebab perkosaan yang sebenarnya dan
dampak-dampaknya serta bergotong royong berjuang untuk menghentikannya. Namun
mesti diingat, dalam berjuang melawan kekerasan seksual, jangan sampai
mengorbankan kelompok rentan lainnya, seperti kaum LGBTIQ (lesbian, gay,
bisexual, transgender, intersexual, queer).
No comments:
Post a Comment