KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
berkatNya yang telah diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Asuhan keperawatan pada pasien dengan apendisitis” .
Kami
dapat menyelesaikan makalah ini karena adanya bantuan dari berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan dan bimbingan kepda kami.
Dalam
pembuatan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang dapat membangun sehingga
makalah ini menjadi lebih baik dan dapat bermanfaat bagi kita semua.
Lampung Utara, 08 - 10 - 2015
Tim
penulis
Sanni Pebriansyah
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung,
panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada
bayi, apendiks berbentuk berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
apendisitis pada usia itu.
Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara
mendadak pada apendiks dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling
sering ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendisitis sering disalah
artikan dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah caecum.
Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai faktor.
Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing
ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan. Apendisitis kronik disebabkan fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa,
dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara
maju daripada Negara berkembang. Namun dalam tiga sampai empat dasawarsa
terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi menjadi
52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan,
yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data
epidemologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada
pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan
angka ini menurun pada menjelang dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya
antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja dan
dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka yang tinggi ini menurun pada
pria.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan
Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini
adalah diperoleh gambaran secara teoritis dalam merawat pasien dengan
apendisitis.
2. Tujuan
Khusus
Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini
adalah:
a. Mampu
menguasai konsep teori penyakit apendisitis.
b. Mampu
mengidentifikasi data-data yang perlu dikaji pada klien dengan apendisitis.
c. Mampu
mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan apendisitis.
d. Mampu
menyusun rencana tindakan keperawatan klien dengan apendisitis.
e. Mampu
melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan apendisitis.
f. Mampu
melakukan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan apendisitis.
g. Mampu
mendokumentasikan asuhan keperawatan klien dengan apendisitis.
C. Manfaat penulisan
Ø Bagi
Mahasiswa
Sebagai informasi dasar
untuk mengenal penyakit apendisitis
Ø Bagi
Masyarakat
Untuk menambah wawasan
dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit apendisitis
D. Sistematika penulisan
Pada Bab I dalam makalah ini dibahas tentang latar
belakang, tujuan, manfaat serta sistematika penulisan dari makalah ini.
Dalam Bab II mengenai isi dari materi
yang dibahas. Dan Bab III didalamnya terdapat kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Apendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai
jari, melekat pada sekum tepat dibawah katup ileocecal (Brunner dan Sudarth,
2002).
Appendisitis adalah suatu peradangan pada appendiks
yang berbentuk cacing, yang berlokasi dekat katup ileocecal (Long, Barbara C,
1996).
Apendisitis adalah peradangan dari appendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Arif
Mansjoer dkk, 2000).
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di
umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak
kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.
Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis
dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007).
B. Klasifikasi
Apendisitis
terbagi menjadi 2, yaitu:
1.
Apendisitis akut, dibagi atas:
a. Apendisitis
akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
b. Appendisitis
purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2.
Apendisitis kronis, dibagi atas:
a. Apendisitis
kronis fokalis atau parsial, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
b. Apendisitis
kronis obliteritiva, yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
C. Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa
sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor
pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan
cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan
penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya:
a. Faktor
sumbatan
Faktor
obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan
limfoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya;
fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus
apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut
dengan ruptur.
b. Faktor
Bakteri
Infeksi
enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada
kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman
anaerob sebesar 96% dan aerob<10 span="">
c. Kecenderungan
familiar
Hal
ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
d. Faktor
ras dan diet
Faktor
ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai risiko lebih tinggi dari
Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki risiko apendisitis yang lebih
tinggi.
e. Faktor
infeksi saluran pernapasan
Setelah
mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena
penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan
apendisitis
D. Anatomi fisiologi
Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai
Appendix vermiformis. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di
bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari
saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan
posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah
1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat. Posisi apendiks
berada pada Laterosekal yaitu di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal:
membelok ke arah di dinding abdomen (Harnawatiaj,2008). Walaupun lokasi
apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa di retrocaecal atau di
pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
Ukuran panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar
0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin.
Pada kasus apendisitis, apendiks dapat terletak intraperitoneal atau
retroperitoneal. Apendiks disarafi oleh saraf parasimpatis (berasal dari cabang
nervus vagus) dan simpatis (berasal dari nervus thorakalis X). Hal ini
mengakibatkan nyeri pada apendisitis berawal dari sekitar umbilicus
(Nasution,2010).
Saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah
sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin
(suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid. Apendiks
menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai perlindungan terhadap infeksi, tetapi jumlah Ig A yang dihasilkan oleh
apendiks sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah Ig A yang dihasilkan
oleh organ saluran cerna yang lain. Jadi pengangkatan apendiks tidak akan
mempengaruhi sistem imun tubuh, khususnya saluran cerna (Nasution,2010).
E. Patofisiologi
Patologi apendisitis
berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding
apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap
harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks
ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan
kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena
keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus (Mansjoer 2005).
Jika sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks.
Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat,
sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut (Faradillah 2009).
Bila kemudian aliran arteri
terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan
terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika
dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti
apendisitis berada dalam keadaan perforasi (Faradillah 2009).
E. Manifestasi klinis
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan
atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lainnya. 3 anamnesa penting yakni:
1) Anoreksia
biasanya tanda pertama.
2) Nyeri,
permulaan nyeri timbul pada daerah sentral (viseral) lalu kemudian
menjalar ketempat appendics yang
meradang (parietal). Retrosekal/nyeri punggung/pinggang. Postekal/nyeri
terbuka.
3) Diare,
Muntah, demam derajat rendah, kecuali ada perforasi.
Gejala
usus buntu bervariasi tergantung stadiumnya:
1) Penyakit
Radang Usus Buntu akut (mendadak)
Pada
kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, Demam bisa
mencapai 37,8-38,8° Celsius, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat
berjalan jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan
menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau
mual-muntah saja.
2) Penyakit
Radang Usus Buntu kronik
Pada
stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi
nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang
timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian
nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada
apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney (titik tengah antara umbilicus
dan Krista iliaka kanan).
Penyebaran
rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri
terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter,
nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada
gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul
pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang
lain, rasa nyeri mungkin tidak spesifik. (Anonim, 2008)
F. Pemeriksaan penunjang
1.
Laboratorium
Terdiri dari
pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan
darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis)
dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat.
2.
Pemeriksaan darah
Akan didapatkan
leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan
komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
3.
Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya
eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat membantu
dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu
ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
4.
Radiologi
Terdiri dari
pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.
Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum.
5.
Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat
adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan
terutama pada anak-anak.
6.
USG
Bila hasil pemeriksaan
fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga
bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
7.
Barium enema
Suatu pemeriksaan X-Ray
dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya
dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
8.
Laparoscopi
Suatu tindakan dengan
menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan
secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada
saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat
itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
G. Penatalaksaan
Ø Pembedahan diindikasikan bila
diagnosa apendisitis telah ditegakkan
Ø Antibiotik dan cairan IV diberikan
sampai pembedahan dilakukan
Ø Analgetik diberikan setelah diagnosa
ditegakkan
Ø Apendektomi dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau
spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan
metode terbaru yang sangat efektif. Konsep Asuhan Keperawatan Sebelum operasi
dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu
juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami
setelah dioperasi dan diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam,
gerakan kaki dan duduk) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini
penting oleh karena banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi
dan juga terhadap penerimaan anastesi.
H. Prognosis
Prognosis
pada semua fase apendisitis sangat baik, tingkat mortalitas kurang dari 1%. Hal
ini dikarekan diagnosis awal dan tata laksana yang di lakukan dengan baik.
I. Pathway
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pengertian diatas dapat simpulkan
bahwa apendiks adalah termasuk ke dalam salah satu organ sistem pencernaan yang
terletak tepat dibawah dan melekat pada sekum yang berfungsi sebagai imun.
Apendisistis merupakan inflamasi akut pada apendiks yang disebabkan oleh
fekalit (massa keras dari feces), tumor atau benda asing di dalam tubuh, namun
ulserasi mukosa oleh parasit E.
Histolytica juga dapat menyebabkan
apendisitis. Gaya hidup individu pun dapat menyebabkan terjadinya apendisitis,
kebiasaan individu mengkonsumsi makanan rendah serat dapat menyebabkan
konstipasi yang akan menyebabkan meningkatnya tekanan intraluminal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa dan terjadilah apendisitis.
B. Saran
Bagi mahasiswa
keperawatan diharapkan dapat memahami
konsep dasar penyakit apendisitis yang berguna bagi profesi dan orang sekitar
kita.
Bagi masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan
makalah ini untuk menambah pengetahuan tentang penyakit apendisitis.
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner & Suddarth.
2001. Keperawatan Medikal Bedah, volume 2. Jakarta: EGC.
Chandrasoma dan Taylor.
2006. Ringkasan Patologi Anatomi, edisi 2. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E.
1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Guyton, AC dan Hall.
1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9 . Jakarta: EGC.
Price dan Wilson. 2006.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC.
Rothrock, J.C. (2000),
Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R. &
Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C.
2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, volume 2. Jakarta: EGC.
Sylvia A Price,
Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 4
buku. Jakarta: EGC.
No comments:
Post a Comment